Anak Besar vs Anak Kecil

WAKTU saya SD, perebutan lapangan antara Anak Kecil dan Anak Besar sering kali ditentukan melalui sebuah pertandingan bola. Siapa yang menang, dia yang berhak menguasai lapangan untuk dipakai di luar jam pelajaran olahraga. Pertandingan ini dapat dipastikan berlangsung dengan tensi tinggi dan diwarnai oleh tekel-tekel beringas serta adu badan yang kasar dan brutal (dalam bahasa kami anak Surabaya disebut “Tenggor-tenggoran”). Pertandingan yang kalau boleh jujur lebih cocok disebut UFC berkedok pertandingan bola. Pertandingan macam ini juga nyaris selalu melahirkan korban. Minimal ada lah anak yang nyosop atau kakinya keseleo atau kepalanya bocor dan lain sebagainya saat permainan berlangsung, dan biasanya korbannya dari kubu Anak Kecil.
Kalau Anak Besar tak terima dengan hasilnya, pertandingan lantas berubah jadi UFC sungguhan–bisa dilakukan di dalam sekolah, saat itu juga, atau di luar sekolah, saat jam pulang. Untungnya, dulu ada satu peraturan yang dijaga betul: bahwa dalam perkelahian jenis apa pun. setiap orang harus selalu menggunakan tangan kosong. Bila ada yang kedapatan bawa pisau lipat dan semacamnya, orang tersebut bisa dibantai di tempat, teman-temannya juga tak bakal membantu karena tindakan tersebut tergolong tindakan pengecut, dan kepengecutan macam itu adalah hal yang tak bisa ditolerir sedikitpun.
Apakah menjadi Anak Besar serta merta dapat akses bermain?
Tidak juga.
Dunia tak sehitam-putih itu, Bos.
Jangan lupa bahwa, meski kamu tergolong Anak Besar, bila kamu tidak jago-jago amat main bola dan juga tergolong anak cupu, teman-teman Anak Besar-mu juga tak bakal mengajakmu main bola dan lebih memilih mengajak Anak Kecil yang disegani dan jago main bola. Kelompok Anak Besar yang tersingkir macam ini biasanya memilih untuk main badminton atau main voli dengan anak-anak perempuan.
Beruntungnya, meski saya tak termasuk yang jago apalagi disegani, saya tergolong anak yang beruntung masih sering diajak main bola dan mengisi posisi yang strategis: striker. Saya memang tak bisa menggiring bola atau menendang dengan kencang (dulu tendangan kencang adalah salah satu indikator “jago”), tapi saya tahu benar cara mencari posisi lowong untuk mencetak gol. Karena itulah saya biasa dipanggil “Welut” (dalam bahasa Indonesia: Belut), dikarenakan saya selalu bisa meloloskan diri dari pengawalan dan sering kali mencetak gol dengan cara yang sulit diduga oleh lawan, bahkan kawan sendiri.
Tapi makin tambah usia dan kemudian masuk dalam golongan Anak Besar, saya mulai malas berkonflik dan memilih hidup damai dengan main badminton dan voli sama anak-anak perempuan–bergabung dengan Anak Besar pecundang lain yang tersingkir dan terasing, dengan turut menanggung beban “dosa” segelintir Anak Besar yang dianggap menindas Anak Kecil dan memonopoli lapangan. Sebab bila ada apa-apa, yang akan dihukum bukan per orangan, tapi satu kelas. (*)