Catatan-Catatan Mengenai Pasien No. 35
(Catatan #1)
Seorang lelaki terbangun dari kasurnya dan merasakan pening yang luar biasa menjalar di kepalanya. Ini menjadi sebuah hal yang tak biasa karena di antara banyak jenis lelaki, ia adalah yang termasuk senantiasa terbebas dari asap rokok dan tak sedikitpun seinci lambungnya dicemari oleh minuman alkohol jenis apa pun. Memang rasa pening bisa diakibatkan oleh banyak hal, tak melulu soal rokok dan alkohol, dan memang belum tentu juga keduanya adalah sumber rasa pening yang dirasakan oleh setiap lelaki di seluruh penjuru Bumi. Tapi hal yang kemudian patut dicermati dari lelaki ini adalah ia merupakan seorang dosen muda yang mengajar di sebuah universitas yang memiliki reputasi baik di tingkat nasional. Dan sebagai dosen muda, ia adalah yang termasuk memiliki ketelitian dalam urusan apa pun termasuk menjaga kebersihan kuku, mengisi daftar absensi, menempeleng kepala mahasiswa yang tidak mengerjakan tugas dan menjaga kesehatan kulit kepala. Maka urusan kepala pening ini menjadi suatu hal yang bisa dianggap tak biasa, setidaknya bagi dirinya.
Lelaki itu memegangi kepalanya sambil menekan-nekan dahi dengan ujung jari telunjuk. Setelah itu, ia mengangkat telunjuknya dan mulai menekan- nekan bagian samping kepalanya. Rasa pening itu sama sekali tak menghilang dan tak sedikitpun berkurang. Barangkali, kita semua, umat manusia yang diberkahi sebuah akal pikiran yang ciamik juga memahami bahwa tindakan semacam itu adalah tindakan irasional yang sesungguhnya lebih dekat kepada perbuatan sia-sia. Tindakan semacam itu tak lebih merupakan refleks alam bawah sadar.
Semacam efek plasebo atau apalah itu.
Menyadari hal itu, si lelaki lekas berdiri dan berjalan menuju dispenser yang ada di dapur. Ia mengambil gelas yang tergeletak di ujung meja dan mulai menekan tombol berwarna biru pada dispensernya dengan menempelkan permukaan gelas dengan tombol hingga air perlahan-lahan mengisi gelas yang semula hanya berisi udara. Ia meminum air yang ada dalam gelas tersebut dengan sikap serupa para pengikut nabi yang sedang mendengarkan larangan-larangan dan perintah-perintah yang sedang diucapkan seorang nabi.
Rasa haus mungkin menghilang, tapi tidak dengan rasa peningnya.
Ini hari yang sungguh brengsek, umpat si lelaki.
Air dalam gelas yang ia pegang masih tersisa sedikit dan si lelaki itu lekas meminum sisanya, dan beberapa saat setelahnya, ia merasa lehernya seperti sedang dicekik oleh seseorang atau sesuatu. Ia jadi kesulitan bernapas dan itu semua mengakibatkan keseimbangannya goyah. Lelaki itu pun jatuh terjengkang lalu berguling-guling sambil memegangi leher dan meringis menahan rasa sakit yang amat sangat. Kejadian semacam itu berlangsung selama empatpuluh lima detik dan berakhir setelah si lelaki berhasil memuntahkan sesuatu dalam kerongkongannya; yakni janin yang masih berlumuran darah. Janin itu menggelinding, berputar dan berhenti setelah terbentur tembok.
Si lelaki masih tergeletak dengan napas tersengal-sengal. Lelaki itu tampak ketakutan melihat janin yang keluar dari kerongkongannya.
Bagaimana bisa?
Ia lekas menyadari sesuatu dan dengan perasaan yang sedikit panik, ia mulai menginjak-injak janin yang ada di depannya.
Pergi kau dari sini! Pergi!
Janin tersebut kemudian pecah menjadi ribuan belatung. Ribuan belatung itu menggeliat merambat di kakinya, badannya, tangannya, hingga kepalanya, dan tak berapa lama lekas menelan si lelaki menjadi ketiadaan.
(Catatan #2)
Seorang lelaki terbangun dari kasur dan merasakan pening yang luar biasa menjalar di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, keringat mengucur deras dari dahinya seolah-olah ia baru saja lari-lari atau semacamnya.
Tapi kita sama-sama tahu bahwa dia baru saja bangun dari kasurnya dengan mengenakan piyama dan faktanya, hanya ada segelintir orang dungu di muka Bumi ini yang memilih untuk lari-lari dengan mengenakan piyama, dan si lelaki bukanlah termasuk dari segelintir orang dungu itu.
Semua tampak seperti nyata…
Ia memikirkan lagi tentang hal-hal yang baru saja dialaminya dan itu membikin tubuhnya gemetar hebat— seperti baru saja mendapat serangan gelombang kejut dengan voltase tinggi. Tapi ada satu detil ganjil yang saat ini terasa menganggu. Tepat di sebelah si lelaki, kini, ada seseorang yang mirip dirinya sedang tertidur pulas. Mirip barangkali bukan kata-kata yang tepat karena jika dilihat secara lebih seksama. baik dari ukuran pergelangan tangan, warna kulit, model alis, bentuk telinga dan bibir, panjang rambut dan beberapa bagian lain yang jika disebut akan memakan waktu yang cukup lama, segalanya terasa identik dan sama persis. Barangkali semacam kembaran, tiruan, gandaan atau apalah itu. Maka untuk membedakan, kita kemudian dapat menyebut lelaki yang asli sebagai Lelaki A dan lelaki yang palsu sebagai Lelaki B.
“Siapa kau?” gertak Lelaki A sambil menepuk-nepuk bahu Lelaki B.
Tetapi Lelaki B masih tetap tidak bergerak. Satu-satunya perubahan yang terjadi saat Lelaki A menepuk bahu Lelaki B adalah; si Lelaki B—yang semula tidur dengan posisi miring ke kanan dengan tangan kanan menyangga kepala dan tangan kiri menutupi perut—berubah rebahan menghadap ke langit-langit dengan tangan bersedekap. Sebuah kabut gelap tiba-tiba muncul dan laki-laki tersebut menghilang… dan muncul lagi tepat di belakang si Lelaki A.
Darah. Sperma. Genetika. Antikristus. Pistol. Tengadahlah …
“Aku tak pernah membunuh siapapun, Brengsek!”
Si Lelaki B meraih leher Lelaki A dan mencekiknya.
Buram.
“Mengapa kau mencintaiku?”
“Menurutmu?”
”Karena aku punya payudara besar?”
“Kau pikir aku orang bejat?”
“Tidak, kupikir kau laki-laki.”
“Jadi menurutmu, semua laki-laki menyukai payudara perempuan yang besar?”
“Jadi menurutmu, tidak semua laki-laki menyukai payudara perempuan yang besar?”
Si lelaki merasa lehernya baru saja terlepas dari tempat yang semestinya.
Gelap.
(Catatan #3)
Seorang lelaki terbangun dari mejanya dan merasakan pening yang luar biasa menjalar di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu, keringat mengucur deras dari dahinya, seolah-olah ia baru saja lari-lari atau semacamnya.
Tapi kita sama-sama tahu bahwa dia baru saja bangun dari mejanya dengan mengenakan setelan kemeja rapi dan faktanya, hanya ada segelintir orang dungu di muka Bumi ini yang memilih untuk lari-lari dengan mengenakan setelan jas
rapi, dan si lelaki bukanlah termasuk dari segelintir orang dungu itu.
Semua tampak seperti nyata…
Kini si lelaki sedang berada di depan kelas, di hadapan sekitar lima puluh sekian mahasiswa yang sedang duduk dengan setengah malas menyimak dirinya berbual-bual mengenai seksualitas. Si lelaki melirik ke arah papan yang ada di belakangnya dan melihat beberapa tulisan;
Seks adalah suatu mekanisme kita sebagai manusia untuk terus mempertahankan eksistensi dan menghindar dari ancaman kepunahan. Seks adalah… seks adalah… seks adalah…
Seperti kita tahu, reproduksi adalah salah satu mekanisme umat manusia untuk mempertahankan dirinya dari kepunahan. Meski pada akhirnya ia juga mengembangkan hal lain dalam rangka untuk terus bertahan hidup, yakni akal.
Tapi tetap saja reproduksi dan seks adalah sebuah hal yang pokok. Seks adalah… seks adalah… seks adalah…
Seorang mahasiswi mengangkat tangannya. Si lelaki menoleh. Wajah yang familiar. Itu adalah ibunya
“Mengapa kau meninggalkannya?”
“Tidak, Bu. Aku tidak melakukan hal itu.”
“Mengapa kau meninggalkannya?”
“Tidak, Bu. Aku tidak melakukan hal itu.”
“Mengapa—“
“Tidak! Tidak! Tolong hentikan semua ini!”
Si ibu berdiri, mengambil sebuah pistol di sakunya dan melesatkan sebutir peluru tepat di daerah kemaluan si lelaki.
(Catatan #4)
“Ibuuu… ibuuu… ibuuu!”
Seorang lelaki terbangun dari sebuah sofa dan merasakan pening yang luar biasa menjalar di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu keringat mengucur deras dari dahinya, seolah-olah ia baru saja lari-lari atau semacamnya.
Tapi kita sama-sama tahu bahwa dia baru saja bangun dari sofa dengan tanpa mengenakan sehelai kain pun dan faktanya, hanya ada segelintir orang dungu di muka Bumi ini yang memilih untuk lari-lari dalam keadaan bugil dan si lelaki bukanlah termasuk dari segelintir orang dungu itu.
Semua tampak seperti nyata…
…
“Apakah semuanya akan baik-baik saja Rob?” tanya Iel sambil memegang tangan kanan Rob begitu erat. Rob mendekat hingga bagian dadanya menempel di punggung Iel yang kebetulan sedang menempelkan wajahnya di jendela sembari melihat hal-hal di luar hotel.
“Semuanya akan baik-baik saja. Tak perlu ada yang dikhawatirkan. Semua orang pernah melakukan sebuah kesalahan, semua orang, tak terkecuali nabi.”
“Sungguh?”
“Sungguh!”
“Coba katakan hal itu lagi sambil membentuk huruf ‘v’.”
“Kita sudah bukan remaja lagi Iel—“
“Sudahlah, tolong lakukan…”
“Sungguh,” kata Rob sembari jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf ‘v’.
…
“Kau tahu sudah berapa lama kita berhubungan?”
“Tidak tahu.”
“Lima bulan enam belas hari.
“Oh.”
“Tampaknya kau biasa-biasa saja mendengarnya.”
“Memangnya aku harus bagaimana?”
“Jadi menurutmu aku sudah membosankan?”
“Sudahlah, berhentilah berbicara aneh-aneh.”
“Oh, jadi menurutmu aku aneh?”
“Kurasa sebaiknya kau tidur.”
…
“Eh, eh, uh, ah, oh, eh ,uh, ah oh.”
“Bisakah kau sedikit memelankan suaramu?”
“Eh, eh, uh, ah, oh, eh ,uh, ah oh.”
”Hei, bisakah kau sedikit—“
“Eh, eh, uh, ah, oh, eh ,uh, ah oh.”
“Diam, Jalang!”
“Apa maksudmu memanggilku Jalang?”
“Memang harus kupanggil apa?”
“Baik Tuan Teliti, sekarang semuanya jadi tampak tak baik-baik lagi dan sepertinya aku mesti menendang penismu agar kau kembali sadar.”
“Baiklah Nona Penendang, kupikir menendang penis seorang pria adalah tindakan yang tak bermartabat dan sama sekali tak pantas dilakukan, bahkan oleh seekor beruk betina sekalipun.”
…
“Hentikan… hentikan… hentikan!!!”
(Catatan #5)
Seorang lelaki terbangun dari sebuah kasur reyot dan merasakan pening yang luar biasa menjalar di kepalanya. Napasnya tersengal-sengal. Sementara itu keringat mengucur deras dari dahinya, seolah-olah ia baru saja lari-lari atau semacamnya. Tapi kita sama-sama tahu bahwa dia baru saja bangun dari kasur reyot dengan mengenakan seragam hijau dan faktanya, hanya ada segelintir orang dungu di muka Bumi ini yang memilih untuk lari-lari dalam mengenakan seragam hijau dan si lelaki bukanlah termasuk dari segelintir orang dungu itu.
Semua tampak seperti nyata…
Si lelaki, dengan perasaan begitu tenang, mengambil sebuah gelas kosong di meja dekat kasur reyotnya dan segera melemparkannya ke tembok hingga menimbulkan suara gaduh. Gelas tersebut pecah berkeping-keping. Ia kemudian mengambil salah satu pecahan kaca tersebut dan menggunakannya selayaknya pisau untuk mengiris urat nadinya. Darah mengucur begitu deras. Saat itu juga, ia tiba-tiba melihat sang ibu muncul di hadapannya. Si ibu lekas memeluknya sambil berkata: Ke sinilah anakku… kembalilah ke dalam pelukanku.
Tidak ada lagi repetisi… tidak ada lagi repetisi… .