Kepengin Mati
SAYA sudah sejak lama kepengin mati. Bukan. Bukan dengan alasan yang sering disangkakan orang; bahwa saya ingin mati karena depresi dan tak kuat menjalani hidup di dunia yang dipenuhi kenestapaan ini.
Begini, saya tahu bahwa hidup ini memang dipenuhi nestapa, dan kadangkala hal tersebut dapat mendatangkan stress berkepanjangan yang berpotensi mengarah ketindakan yang suicidal.
Tapi, bagi saya, jauh melampaui segala kenestapaan itu, ada hal yang membuat saya lebih penasaran: Seperti apa rasanya mengalami mati? Bila benar ada dunia paska-kematian, apakah wujudnya sama sebagaimana gambaran yang ditulis dalam kitab-kitab agama Samawi?
Saya sendiri punya imajinasi sendiri tentang kematian.
Saya selalu percaya, bahwa tepat saat saya mati, ruh saya akan melayang perlahan meninggalkan tubuh. Melayang seringan kapas. Lalu saya akan menoleh ke bawah, melihat tubuh saya yang terbujur kaku. Lalu saya menangis. Lalu saya terharu. Tapi, sekeras apa pun saya berusaha melawan, tubuh saya terus saja melayang menuju langit. Rasanya hukum gravitasi sudah tak berlaku lagi.
Kemudian akan berkelebatan kejadian-kejadian yang pernah saya alami di masa lalu: dalam format tayangan hitam-putih; dalam fragmen-fragmen alur mundur yang begitu cepat.
Lalu saya akan merasa terharu lagi. Perasaan haru yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Sebelum kemudian cahaya putih meledak dan menelan seluruh ruh saya. Membawa saya menuju dunia di luar ruang dan waktu. Kosong.
Asal tahu saja, gambaran tersebut merupakan mimpi yang sering saya dapati sejak saya masih kecil hingga saat ini. Sejak kecil saya punya kebiasaan untuk menuliskan beberapa mimpi ke dalam jurnal mimpi, dan memang sejak lama saya berusaha keras untuk melatih diri agar bisa mengingat mimpi, bahkan mengendalikan mimpi. Terdengar seperti omong kosong, tapi begitulah yang saya lakukan.
Dari situ kemudian saya mengembangkan ide menulis “Saluran Televisi yang Menyala di Malam Hari” yang tak lain dan tak bukan semacam kembangan dari jurnal mimpi saya. Yang saya lakukan saat menulis STMMH bukan hanya sekadar menceritakan ulang, tapi secara ketat mencari cara agar tulisan tersebut dapat menangkap “pengalaman” sedekat dan setepat mungkin sebagaimana yang saya rasakan saat bermimpi.
Dan kembali lagi bicara soal kematiaan, saya selalu memimpikan kematian yang sunyi.
Bila saya telah merasa cukup dengan hidup, dalam artian saya merasa sudah menunaikan segala tugas dan kewajiban semasa saya hidup, saya akan pergi menyepi ke sebuah danau yang ada di tengah hutan. Dengan sampan kecil, saya akan mendayung sampai bagian tengah. Tepat di bawah terik matahari. Sambil menempelkan bedil ke batok kepala, lantas mendongak menatap langit luas sembari berbisik kepada diri sendiri:
dari ketiadaan
kembali menuju ketiadaan
DOR!
Burung-burung berhamburan dari ranting pohon. Ruh saya perlahan melayang, terbang menjauh dari tubuh. Kosong.
(*)